Ada sebuah pepatah Kristen yang menjelaskan kaitan antara doa dan kerja, yaitu ora et labora (berdoa dan bekerja). Tidak ada yang keliru dengan pepatah ora et labora ini, kecuali bahwa ia mudah menggiring kita pada pemisahan antara doa dan kerja. Pepatah ini mengandaikan bahwa berdoa bukanlah saat untuk bekerja dan bekerja bukan saat untuk berdoa. Benar, keduanya berhubungan, namun yang satu tidak ditemukan di dalam yang lain.
Yang kita butuhkan sesungguhnya sekarang adalah sebuah sudut pandang spiritual yang tidak memisahkan keduanya, namun memampukan kita untuk melihat yang satu di dalam yang lain. Alternatif tersebut kita temukan ketika kita percaya bahwa bekerja dan berdoa memang tak boleh dipisahkan. Bagaimana memahaminya? Laborare est orare: bekerja adalah berdoa!
Melalui ungkapan tersebut, fokus yang harus ditangkap bukanlah pada saat kita berdoa sebelum atau sesudah melakukan sesuatu. Fokusnya adalah bahwa kita melakukan sesuatu sebagai doa kita. Tidak ada yang salah dengan berdoa sebelum makan, kecuali jika kemudian kita makan bukan sebagai doa kita. Padahal, setiap suap nasi yang kita santap adalah untaian doa kepada Allah. Demikian pun setiap suap nasi yang kita bagikan kepada sesama adalah sebuah puji-pujian kepada Allah.
Cara pandang Laborare est orare ini membebaskan kita dari kebuntuan yang memandang doa sekedar sebagai sebuah ritualisme yang mesti dilakukan jika sebuah pekerjaan yang kita lakukan ingin berhasil. Bukankah praktik semacam ini yang dikecam oleh Amos?
Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari padaKu keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir (Am. 5 : 21 -24).
Apabila yang bermasalah dengan ritualisme adalah karena ia memisahkan doa dan ibadah dari kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Padahal, praktik ritual yang sehat justru harus muncul sebagai ekspresi iman yang autentik yang dilakoni di dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, entah itu berupa syukur atau ratapan, pengakuan iman atau pengharapan. Pada saat ini kita mengerjakan sesuatu (laborare) sebagai doa ( orare), sesungguhnya kita tengah menyapa Allah di setiap detik kehidupan kita. Itulah sesungguhnya apa yang ingin dikatakan oleh Martin Luther King, Jr., “ menjadi seorang Kristen tanpa doa sama tidak mungkinnya dengan kehidupan tanpa nafas “. Dengan cara lain Oswald Chambers berkata “Doa adalah nafas hidup orang Kristen; bukanlah apa yang membuatnya hidup, namun bukti bahwa ia hidup”.
Pada ekstrem yang lain, kita mendapati pula bahaya aktivisme. Jika ritualisme menekankan secara berlebihan upacara-upacara dan mengabaikan karya, aktivisme dapat memenjara manusia ke dalam kegiatan dan kerja tanpa henti, yang pada dirinya tidak punya makna spiritual apa-apa. Kita tampaknya hidup di sebuah masa yang menjadikan kerja sebagai mesin penggerak kemajuan. Dalam gelombang aktivisme semacam ini, efektivitas dan efisiensi menjadi ukuran yang tidak pernah mengizinkan manusia untuk berhenti sebelum tercapai hasil yang ditetapkan. Dengan segera manusia hidup secara mekanis, bagai sebuah robot yang diciptakan hanya untuk memberi hasil.
Baik prayeraholic (berlebihan dalam doa) maupun workaholic (berlebihan dalam kerja) tampaknya sama-sama keliru, dan kita harus mengayuh sampan kehidupan kita di antara kedua karang itu. Semoga perjalanan Anda dapat terlewati dengan selamat.
(MS dari buku Labirin Kehidupan karangan Dr. Joas A)